“Citizen Journalism”:
Ketika Berita Tidak Hanya Memiliki Satu Muka
Oleh Zaki Habibi1
Abstract
Journalism became a term that mass media had controlled the meaning for recent
years. Audiences have no power to show their role in news production and
dissemination. Now, when society face an information era, the power of
knowledges and informations no longer lay-down only at newsroom or editors of
mass media. Internet created many changes in the way people signify realities.
Citizen journalism, as a new form of online journalism, offers a new paradigm and
spirit which put individual as important subject in the process of social meaning
construction.
Key words
Citizen journalism, gatekeeper, news, online media, running journalism, social
construction,visual thinking.
Pendahuluan
Sejarah peradaban manusia menunjukkan, jurnalistik dan teknologi selalu
tumbuh dan berkembang sejalan. Ketika teknologi menghadirkan mesin cetak pada abad
ke-15 di Eropa, jurnalistik juga tergiring untuk menggunakannya sebagai sarana
produksi dan diseminasi informasi. Orang mulai berpikir bahwa informasi yang tersebar
secara massif memiliki nilai dan kekuatan tertentu dalam masyarakat. Teknologi pun
terus mencari bentuk dan varian barunya hingga kini guna menjadi bagian dari proses
yang disebut kemajuan. Segala sendi kehidupan bertransformasi sebagai konsekuensi
logis atas implementasi teknologi yang menjadi “teman hidup” peradaban manusia.
1 Penulis adalah mantan wartawan HarianKompas yang kini menjadi penulis lepas. Saat ini, di samping
mengelola weblog http://melekmedia.wordpress.com, penulis juga mengajar sebagai dosen luar biasa
pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia.
2
Memasuki abad ke-21, pertumbuhan teknologi—khususnya di bidang
komunikasi dan informasi—makin cepat dan kian tidak terduga. Internet menjadi
lokomotif dari transformasi peradaban masa kini. Jurnalistik pun mendapatkan
tantangan terbesarnya terutama sejak tahun 2000 dan memuncak pada dua tahun
terakhir seiring pesatnya kemajuan duniacyber. Tantangan itu berwujud sebuah konsep
dan praktik yang disebutcitizen journalism.
Situasi berubah dan menuntut adaptasi bagi apa dan siapa saja yang ingin tetap
bertahan hidup. Transformasi yang terjadi di ranah jurnalistik juga terjadi dalam rangka
mempertahankan daya hidupnya. Transformasi tersebut tidak hanya terkait seputar
perubahan dan penyesuaian perangkat atau instrumen pendukung yang digunakan. Akan
tetapi, juga menyangkut aspek-aspek lain yang lebih luas, seperti praktik jurnalistik,
sistem nilai dalam jurnalistik, pola dan sistem bisnis jurnalistik, hingga konsep-konsep
dasar jurnalistik. Perubahan itu juga yang dibawa oleh gelombangcitizen journalism.
Adapun, tulisan ini tidak bertujuan untuk memetakan fenomena citizen
journalism di duniacybersecara menyeluruh. Tulisan ini tidak pula berpretensi untuk
mengedepankan polemik tentang aspek obyektivitas, akurasi, dan kebenaran antara
citizen journalism dengan jurnalisme tradisional. Akan tetapi, kali ini penulis ingin
melihat bagaimana pengaruh yang dibawa gelombang baru dalam jurnalisme ini
terhadap konsepsi atas berita yang selama ini telah terkonstruksi sedemikian rupa di
benak masyarakat, baik di kalangan para jurnalis dan pekerja media maupun di mata
khalayak media. Apakah berita masih memiliki makna yang sama? Bagaimana
implikasi yang dibawacitizen journalismterhadap konsep berita di media massa
maupun di cybermedia saat ini? Apa dan bagaimana pula peran yang sejatinya dapat
dijalankan masyarakat di Indonesia dalam eracitizen journalism ini?
3
Jurnalistik Menghadapi Tantangan Zaman
Karena selalu tumbuh seiring perkembangan teknologi, metode jurnalistik juga
turut mengikuti arah laju pertumbuhan tersebut. Bahkan, temuan-temuan baru atas
konsep dan metode dalam jurnalistik juga dipicu oleh persinggungannya dengan
teknologi. Sebuah ilustrasi dari peristiwa yang terjadi lebih dari seabad lalu di Amerika
Serikat (AS) berikut ini dapat menjadi salah satu bukti riil bagaimana persinggungan
antara jurnalistik dengan teknologi berdampak terhadap pola dan metode kerja
jurnalistik. Saat perang sipil di AS berkecamuk hebat pada 1861-1865, media cetak kala
itu juga saling “berperang”. Mereka berlomba-lomba ingin menjadi yang terdepan dan
tercepat dalam memberitakan informasi langsung dari medan pertempuran yang
menelan sekitar 970.000 korban jiwa atau setara tiga persen penduduk AS masa itu.
Di masa yang bersamaan telegraf telah akrab dikenal masyarakat AS. Para
jurnalis pun memanfaatkan teknologi telegraf untuk mengirim berita dari medan perang
ke kantor redaksinya agar berita lebih cepat sampai daripada harus menitipkannya
kepada kurir. Masalah muncul ketika jumlah kantor telegraf tidak sebanding dengan
berjubelnya para jurnalis yang ingin mengirim berita secara bersamaan. Akhirnya,
dibuatlah peraturan agar setiap jurnalis mengirimkan satu paragraf lalu bergantian
dengan jurnalis lainnya, menyusul paragraf berikutnya secara bergiliran agar adil dan
merata. Akibatnya, para jurnalis tersebut harus mengubah cara menulis beritanya dari
yang biasanya berstruktur naratif bak sebuah cerita pendek atau novel dengan puncak
cerita berada di bagian akhir menjadi model simpulan dengan bagian terpenting berada
di awal laporan mereka. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar kantor redaksi
4
mereka menerima laporan terpenting lebih cepat karena pengiriman berita harus
dilakukan bergantian dengan para jurnalis lainnya (Ishwara, 2005: 115).
Peubahan yang tampaknya sepele ini ternyata membawa pengaruh yang besar
pada praktik jurnalisme di masa-masa berikutnya. Bahkan, sampai sekarang. Dari
fenomena itulah kemudian berita yang dikategorikan sebagaihard news memiliki
struktur berbentuk piramida terbalik. Struktur ini meletakkan informasi terpenting dari
berita pada bagian atas/awal, semakin ke bawah nilai kepentingan informasinya kian
berkurang. Inilah yang kemudian menjadi patron media massa di seluruh dunia sampai
saat ini.
Persinggungan jurnalistik dengan teknologi dalam contoh tersebut meletakkan
teknologi sebagai tantangan yang justru dapat dimanfaatkan untuk menajamkan potensi.
Bahkan, tantangan yang semula sempat dianggap sebagai hambatan pun akhirnya
berhasil juga dilihat sebagai ruang untuk memunculkan kreasi-kreasi baru. Contoh yang
paling konkret untuk menjelaskan fenomena ini adalah era awal kemunculan media
elektronik, terutama televisi, yang sempat “mengancam” kehidupan media cetak.
Televisi yang bersifat simultan danreal-time mampu menjawab kekurangan media
cetak dalam aspek aktualitas berita. Peristiwa detik ini dapat tersiar detik berikutnya.
Media cetak pun sempat disinyalir akan gulung tikar. Namun, ternyata prediksi tersebut
tidak terbukti, paling tidak hingga kini. Media cetak tetap masih bisa bertahan meski
televisi sudah merasuk ke ruang-ruang keluarga warga dunia sejak tidak kurang dari 50
tahun terakhir.
Dari segi aktualitas, media cetak memang tidak akan mampu menandingi
kecepatan media elektronik dalam hal menyiarkan berita. Meski begitu, media cetak
tetap bisa mengedepankan sisi lain yang menjadi kelebihannya, yaitu aspek kedalaman
5
informasi. Radio memang luar biasa cepat dalam mengendus informasi dan segera
menyiarkan kepada pendengarnya. Karena itulah, radio disebut sebagaialerting
medium, yaitu media pertama yang menyampaikan kepada khalayak tentang apa yang
terjadi meskipun hanya berupa gasir besar. Sedangkan, televisi dengan aspek visualnya
mampu menjadiinvolving medium, yaitu media yang mampu mengikat emosi
pemirsanya lebih kuat dibanding bentuk media lainnya. Di sinilah kemudian media
cetak memainkan perannya sebagaiinforming medium, yakni media yang mampu
menangani hal-hal yang kompleks karena memiliki kesempatan dan ruang untuk
menggali aspek kedalaman informasi sebelum memuat dan mengedarkannya (Davison
dalam Ishwara, 2005: 48-49).
Di Indonesia, kesadaran akan hal ini makin menguat dan menemukan bentuknya
secara serempak sejak pertengahan 2006. Penulis mencatat bahwa pada masa itulah
cikal bakal konsepvisual thinking dalam menulis berita di media cetak mulai digunakan
secara beramai-ramai. Konsep tersebut mengacu pada bentuk tulisan tak ubahnya
laporan jurnalistik yang selama ini dikenal, tetapi relatif lebih pendek, ringkas (concise),
serta dilengkapi dengan grafik atau data visual yang lebih dominan. Jurnalis dituntut
untuk mampu menghadirkan gambaran visual dalam benak pembacanya melalui berita
yang disusunnya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan masyarakat dunia, termasuk
di kota-kota besar di Indonesia, yang makin memiliki ritme hidup tinggi, serta
menerima pajanan media yang luas cakupannya dan tinggi frekuensinya. Sehingga,
waktu adalah sesuatu yang amat berharga. Oleh karena itu, tidak ada lagi kesempatan
duduk berlama-lama membaca setiap berita di surat kabar atau majalah seperti
membaca buku. Secara visual, tampilan media dan struktur berita akhirnya dibuat
sedemikian rupa agar memudahkan dan mempercepat pembaca saat merekam informasi
6
dari media tersebut. Konsep berita yang demikianlah yang kemudian diamini sebagai
berita yang baik dan efektif.
Di saat jurnalistik, lebih khusus lagi dalam media cetak, sudah mulai
menemukan pijakan pasti dalam menyusuri perannya di tengah gempuran tantangan
zaman, gelombang baru muncul lagi. Kali ini gelombang yang lebih dahsyat terpaannya
datang dari duniacyber melalui internet. Warga dunia, termasuk di belahan dunia
ketiga, sudah mulai akrab untuk hidup berdampingan dengan internet. Publik jurnalistik
(baca: jurnalis profesional) pun makin menemukan arti penting keberadaan internet
guna mendukung kerja mereka sehari-hari, entah itu sebagai sarana komunikasi maupun
sumber penyedia data dan informasi. Kemunculan situsweb berita atauonline media
sempat menjadi diskusi hangat di kalangan jurnalis. Mulanya, keberadaan media
tersebut dinilai akan mengancam keberadaan media massa. Pasalnya, dari segi
kecepatan dan jangkauan khalayak, media elektronik pun kalah jauh. Lebih-lebih lagi
media cetak. Masa yang disebut-sebut sebagaipaperless era alias serba maya
tampaknya sudah di depan mata. Namun rupanya, fenomena ini justru memperkaya
konsepsi dan praktik jurnalistik itu sendiri ketimbang menenggelamkan yang sudah
lebih dulu ada.
Online mediamengedepankan konsep yang belakangan disebut sebagairunning
journalism. Media tersebut relatif lebih memiliki ruang penyimpanan dan penampilan
berita jauh lebih luas. Namun, pembaca atau dalam dunia maya disebutuser memiliki
keterbatasan ruang baca, yakni seluas layar monitor komputer mereka. Tulisan yang
terlalu panjang, sehingga harus berkali-kali menurunkan tampilan di layar monitor
komputer, hanya mempersulituser dan menurunkan tingka keterbacaan. Akhirnya,
online media pun mengembangkan struktur penulisan berita berlanjut. Satu peristiwa
7
dapat diturunkan dalam beberapa laporan secara beruntun. Jadi, setiap laporan yang
tampil di situsweb tersebut bukanlah sebuah berita yang bisa dibilang tuntas, tetapi
tidak dapat juga disebut belum selesai. Berita dalam media semacam ini adalah suatu
laporan yang turun segera, sedekat mungkin waktunya dengan waktu peristiwa terjadi,
dan diturunkan terus-menerus dengan penambahan informasi lanjutan tidak ubahnya
seperti orang yang sedang berlari (running) menuju garis akhir. Di Indonesia salah satu
online media yang masih bertahan, baik dari segi konseprunning journalism maupun
secara bisnis, adalahdetik.com.
Konsep tersebut memang memberikan wacana dan praktik baru dalam ranah
jurnalistik. Meski demikian, hal itu justru memperkaya khasanah jurnalistik dan
memperluas dialog antara beragam bentuk media yang sudah ada. Sehingga, sinergi
dapat terbentuk dan masing-masing berada pada jalur peran yang spesifik dengan
mengembangkan konsep serta bentuk berita yang khas. Dengan kata lain, perjalanan
waktu selama ini menunjukkan bahwa konsep dan bentuk berita ternyata
bertransformasi mencari bentuknya sesuai perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Walaupun begitu, prinsip-prinsip jurnalistik ternyata tidak banyak berubah
secara mendasar. Meski bentuk medianya beragam, tetap saja masih ada logika tentang
institusi media sebagai institusi sosial sekaligus institusi ekonomi dalam masyarakat.
Selain itu, masih ada orang yang disebut sebagai jurnalis selaku pihak yang mencari,
mengolah, dan menuliskan atau menyiarkan informasi yang diperolehnya. Masih ada
juga logika keredakturan/editorial yang berjalan ketat memainkan peran sebagai
gatekeeper alias penyaring informasi. Satu hal lagi yang tidak kalah penting, masih ada
juga posisi audiens media yang cenderung pasif dalam alur produksi dan distribusi
8
informasi melalui media. Bahkan, audiens dalam kacamata kapitalisme global terkait
industri media dapat disebut juga—meski tidak selalu identik—sebagai konsumen.
Lalu, situasi seperti apakah yang kini sedang menjadi tantangan baru bagi ranah
jurnalistik? Adakah situasi tersebut mengubah secara mendasar prinsip-prinsip
jurnalistik? Bagian berikut akan menguraikan hal-hal tersebut secara berturut-turut.
Masyarakat Haus Informasi (?)
Internet telah berangsur-angsur menjadi sahabat baru manusia modern dalam
dua dasawarsa terakhir. Khusus di Indonesia, peningkatan akses terhadap dunia maya
secara drastis mulai mengemuka sejak akhir 1990-an dan makin melejit saat memasuki
era 2000-an. Meski mayoritas masih berada di leveluser semata, warga yang
mengklaim diri mereka sebagai kaum modern telah menjadikan internet sebagai bagian
dari keseharian mereka. Aktivitas di dunia maya tersebut tidak lagi sebatas urusan
mengirim dan menerima e-mail atauchatting belaka. Namun, aktivitas sudah makin
beragam seiring perkembangan teknologi dan kondisi sosio-kultural masyarakat.
Dunia tiba-tiba menjadi begitu cair, sekat-sekat karena batasan geografis
menjadi bukan persoalan rumit lagi. Dunia seperti disatukan oleh internet. Akan tetapi,
pada saat yang sama dunia juga “diceraiberaikan” olehnya. Cerai berai dalam pengertian
bahwa setiap orang bebas memilih ruang-ruang ekspresinya yang tanpa batas di dunia
maya ini. Sekaligus juga bebas untuk menentukan identitas dirinya sebagai aktualisasi
diri di dunia nyata maupun selaku avatar-avatarnya di dunia maya. Dalam logika yang
demikian setiap entitas, entah itu pribadi maupun kelompok sosial, identitasnya melebur
atau merekonstruksi kembali identitas yang dia/mereka inginkan saat beinteraksi di
dunia maya. Situasi ini sempat disikapi dengan gegar teknologi dan gegar budaya,
9
terutama di negara-negara berkembang. Gegar budaya dan gegar teknologi itu
ditunjukkan melalui penyikapan atas teknologi baru bernama internet yang mereka
manfaatkan dalam arah yang tidak jelas. Lebih banyak yang euforia mengkonstruksi
identitas lewat beragam avatar. Banyak juga golongan yang jengah dan menjadi reaktif
dengan membangun benteng-benteng terhadap laju informasi di internet atas nama
kekuasaan politik maupun agama. Tidak sedikit pula yang lambat laun menjadi pribadi
terasing karena begitu banyaknya informasi dan citraan berseliweran di sana tanpa tahu
apa yang sebenarnya ia butuhkan. Berbagai imaji muncul silih berganti dalam kecepatan
tinggi, sehingga menciptakan kebingungan dalam kondisi obesitas citraan dan informasi
(Piliang, 1999: 318).
Meski tidak bisa dibilang sudah sirna seutuhnya, gejala tersebut lambat laun
berkurang. Sikap masyarakat terhadap keberadaan internet juga makin dewasa.
Walaupun prinsip dasar dunia maya memang membuka ruang budaya yang demikian,
sedikit demi sedikituser mulai mengerti dengan ciri tersebut. Pengertian ini menggiring
kepada pemahaman yang lebih mutakhir, sehingga dapat lebih memegang kendali atas
teknologi. Bukan sebaliknya, manusia yang justru dikendalikan oleh teknologi.
Dalam tren kondisi yang demikian lahirlah beragam ruang-ruang baru di dunia
maya yang makin progresif. Salah satunya adalah weblog atau yang kini jamak disebut
blog. Blog bermula dari catatan harian atau jurnal seseorang yang dipublikasikan di
internet. Selain catatan yang sifatnya personal dan selalu di-up-date tersebut, blog juga
menyajikanlinkatau daftar alamat koneksi ke situsweb atau blog lainnya. Ciri khas
lainnya adalah blog memungkinkan setiap pengunjungnya meninggalkan komentar
terhadap apa yang tampil di situ. Pengunjung lainnya dapat melihat komentar tersebut
dan dapat memberikan komentar lanjutan, demikian juga dengan pemilik blognya,
10
begitu seterusnya. Inilah cikal bakal situsweb citizen journalism yang kini mulai
menjamur sebagai bentuk alternatif dari praktik jurnalistik.
Dunia web adalah dunia yang berbasis padalink. Setiap orang atau entitas dapat
saling terkait dengan orang/entitas lainnya. Prinsip ini mengakomodasi kebutuhan dasar
manusia untuk berkomunikasi, atau meminjam istilah salah seorang perintis gerakan
citizen journalism di AS, Dan Gillmor: saling bercakap-cakap (Gillmor dalam Rosen,
2004). Setiap orang ingin mengekspresikan diri, pikiran, keresahan, dan harapannya.
Setiap orang juga ingin mendengarkan atau membaca dan memahami pikiran,
keresahan, serta harapan orang lain. Selain itu, hasrat membantu orang lain atau paling
tidak memberikan komentar atas pikiran orang lain juga amat naluriah. Hal-hal itulah
yang kemudian benar-benar mendapatkan ruangnya di dunia web, blog, dan termasuk
juga kinicitizen journalism.
Gerakan jurnalisme baru ini mengemuka pada awal 1990-an di AS. Belum ada
data yang pasti siapa yang memulainya karena masih ditemukan klaim-klaim yang
sifatnya pribadi tanpa uji silang yang komprehensif. Meski begitu, era kemunculannya
memang pada rentang waktu tersebut. Bentuk dan sifatnya masih beragam tergantung
kepentingan setiap pembuatnya dan semuanya berbasis pada aplikasi blog. Satu hal
yang pasti adalah semangat jurnalisme partisipatoris sudah muncul dan menonjol.
Karena memang sejatinya inilah ciri pokokcitizen journalism. Yakni, kegiatan
jurnalistik yang dilakukan bukan oleh jurnalis profesional, tetapi oleh masyarakat umum
dan dipublikasikan secaraonline serta dapat saling diberi komentar oleh pengguna
lainnya.
Konsep dasar dalam citizen journalism yaitu memposisikan audiens sebagai
produsen berita juga, bukan hanya konsumen pasif seperti selama ini berjalan dalam
11
logika kerja jurnalisme tradisional berbasis media massa. Dengan kata lain, posisi antara
jurnalis sebagai pencari dan penulis berita, narasumber sebagai muasal berita, dan
audiens sebagai konsumen berita sudah lebur begitu cair. Antara produsen dan
konsumen berita tidak bisa lagi diidentifikasi secara rigid karena setiap orang dapat
memerankan keduanya (Gillmor, 2004: xii-xv). Intinya, dalamcitizen journalism yang
diutamakan adalah interaksi dan interkoneksitas.
Sebenarnya, fenomena ini muncul sebagai lanjutan dari kecenderungan laju
masyarakat menuju tahap mutakhir seusai menjadi masyarakat industri. Dalam
terminologi yang dikemukakan sosiolog dan futurolog Alvin Toffler, tahap mutakhir itu
adalah masyarakat informasi. Tahap ini adalah tahap ketiga setelah melalui bentukan
sebagai masyarakat agraris dan masyarakat industri. Ciri utama masyarakat informasi
adalah penekanan pada sifat kekuasaan dan pengetahuan yang tidak lagi terpusat,
melainkan menyebar. Di samping itu, informasi telah menjadi entitas dan komoditi
tertentu yang menggerakkan laju peradaban. Namun, satu hal yang perlu mendapat
catatan juga adalah bahwa setiap komunitas atau bangsa tidak berjalan dalam kecepatan
yang sama dalam proses pemutakhiran peradaban tersebut. Sehingga, jika di belahan
utara tempat bangsa negara-negara maju sudah hiruk pikuk sebagai masyarakat
informasi, ternyata di negara-negara berlembang termasuk Indonesia, masih disibukkan
dengan transisi dari agraris menuju industri.
Repotnya, dalam proses yang tidak seimbang ini dunia terlanjur “disatukan”
sekaligus “diceraiberaikan” oleh teknologi berbasis internet. Akibatnya, percepatan
pembentukan tahapan masyarakat di negera berkembang mau tidak mau harus terjadi
meskipun secara infrastruktur maupun tatanan sosio-kulturalnya belum siap benar.
Dalam kontekscitizen journalism pun hal ini menemukan kerumitannya sendiri.
12
Pasalnya, kehadirancitizen journalism merupakan respons lanjutan dari peradaban
masyarakat informasi yang memang tatanan sosio-kultural dan infrastrukturnya telah
siap. Kehadirannya menunjukkan peran berarti dalam mendekonstruksi sistem media
tradisional, mendobrak tatanan konservatisme dalam produksi dan distribusi berita, serta
menawarkan geliat ruang berdemokrasi yang paripurna. Hal inilah yang kemudian
menjadi pertanyaan besar bagi bangsa ini dalam menyikapi keberadaancitizen
journalism.
Pernyataan tersebut bukan dalam rangka ingin mengecilkan arti bangsa ini
dalam dunia yang sudah begitu global dan cair ini. Sama sekali tidak. Lontaran ini
hanya untuk menegaskan kembali dan mengingatkan kita bersama bahwa kunci utama
dari setiap implementasi teknologi adalah untuk menjawab kebutuhan riil komunitas
penggunanya. Jadi, jika memang kita sudah menjadi masyarakat dalam tatanan yang
haus informasi dan menemukan ruang baru untuk mendekonstruksi hal yang
sebelumnya ada demi perbaikan diri dan lingkungan, hal tersebut tidak masalah.
Sehingga, gejala gegar teknologi dan gegar budaya akan suatu bentukan teknologi dan
ruang budaya baru tidak muncul lagi. Keberadaancitizen journalism pun bisa
dimanfaatkan sebaik-baiknya sesuai prinsip dasar yang dimiliki gerakan ini, yaitu
melihat setiap manusia sebagai subyek dalam hidup bersama. Bukan sekadar menjadi
ruang eskapisme dari kepenatan dunia nyata dengan cara menyebarkan kabar bohong
atau hasutan. Bukan pula menjadi ruang katarsis semata demi pemenuhan gejolak
psikologis yang tidak terepresentasikan dalam dunia nyata.
13
Berita sebagai Konstruk Sosial
Prinsip dasarcitizen journalism telah amat jelas menunjukkan bahwa berita
sebagai isi interaksi parausers di sana adalah sebuah bentukan atau konstruk bersama.
Jika sebelumnya berita sebatas dimaknai sebagai peristiwa yang dilaporkan melalui
media massa (Simbolon, 2006: 87), kini berita menemukan makna tersendiri lewat
citizen journalism. Berita bukan lagi sesuatu yang elitis dan hanya punya “satu sisi
muka” karena tidak muncul dari sekelompok orang tertentu yang berlabel jurnalis
profesional saja. Setiap orang yang mempunyai cerita kehidupan dan berdampak sosial
dapat menuliskannya di situsweb yang berprinsipcitizen journalism.
Berita di media massa memang bukan realitas sosial itu sendiri. Melainkan,
realitas media yang juga sudah melalui proses konstruksi atas realitas sosial. Akan
tetapi, proses konstruksinya selama ini hanya berkutat di jajaran redaksi media tersebut.
Atau dengan kata lain, masih elitis. Media massalah yang menentukan apa yang harus
diliput dan apa yang luput dari pelaporan peristiwa. Media pula lah yang memastikan
nilai berita mana yang lebih penting untuk pembacanya. Media massa menentukan
berbagai faktor untuk menentukan peristiwa apa yang akan mereka liput (Anderson dan
Itule, 1984: 17).
Pola demikian yang kemudian didekonstruksi oleh prinsipcitizen journalism
dalam duniacyber. Setiap orang kembali kepada definisi asali dari berita itu sendiri,
yakni segala sesuatu yang diinginkan dan diperlukan untuk diketahui oleh orang lain
(Newsom dan Wollert, 1985: 11). Dengan melaporkan berita, media tidak hanya berbagi
informasi kepada khalayak untuk kemudian menggerakkan masyarakat dalam
perikehidupan demokratis, tetapi juga menjadi ruang interaksi antar individu maupun
ruang dialog yang konstruktif. Berita mewujud sebagai sebuah laporan dari warga yang
14
bisa jadi bernuansa subyektif, tetapi mampu menjadi sarana dialog untuk menemukan
tesis dan sisntesis kehidupan bersama.
Adakah perubahan konsep atas berita ini juga mempengaruhi proses dan prinsip
produksi berita di media massa dalam praktik jurnalisme tradisional? Penulis rasa tidak
perlu demikian. Hal yang dibutuhkan kini adalah konvergensi media dan konvergensi
pengetahuan. Konvergensi di sini bukan dalam pengertian penyatuan lini usaha seperti
yang selama ini kerap dipakai oleh konglomerasi media. Akan tetapi, setiap pola dan
bentuk media saling mendukung dalam menjalankan perannya masing-masing.
Keberadaancitizen journalism tidak serta merta mengeliminasi keberlanjutan hidup
media massa konvensional. Terlebih lagi di Indonesia yang mayoritas warganya belum
mampu mengakses internet secara kontinyu karena kemiskinan struktural yang tercipta
sebagai turunan dari perikehidupan yang korup dan timpang selama negeri ini merdeka.
Saat ini, elitisme pengetahuan sudah tidak ada lagi. Informasi dan pengetahuan
tidak hanya berada di tangan para pekerja media. Bisa jadi khalayak media tersebut
justru lebih dulu tahu karena kecepatan akses informasi melalui internet. Hal ini tidak
menjadi soal. Sebabnya, saat ini pertanyaan utama dalam ranah jurnalistik bukan lagi
siapa yang lebih dulu dan lebih cepat tahu. Melainkan, bagaimana informasi dan
pengetahuan yang mereka miliki tersebut dapat memberi manfaat bagi kehidupan
bersama.
Supaya dapat memberi manfaat, maka informasi tidak lagi dipasung sendirian.
Justru interaksi dan proses dialog lah yang memungkinkan suatu peradaban bertambah
maju. Dengan begitu, para jurnalis profesional tidak pelu khawatir dengan geliatcitizen
journalism di dunia maya. Para jurnalis tersebut dapat memanfaatkannya sebagai ruang
alternatif dalam mengolah informasi dan mengkonstruksi realitas sosial menjadi realitas
15
media. Sementara, keberadaancitizen journalism juga tetap dapat memberikan andil
positif bagi ruang hidup yang demokratis. Di samping melatih setiap orang untuk lebih
peka terhadap lingkungan sekitarnya,citizen journalism juga bisa menjadi sarana
alternatif melihat konstruk realitas sosial yang luput dari perhatian media massa. Inilah
konvergensi yang penulis maksudkan.
Dengan begitu, kecenderungan negatif laju media massa dalam kancah
kapitalisme global dapat ditekan. Kecenderungan itu di antaranya adalah arogansi dalam
melihat, memilih, dan memaknai setiap realitas sosial. Arogansi ini memang mendapat
ruang yang luas selama ini karena logika jurnalistik yang berjalan bersifat elitis. Posisi
sebagaigatekeeper justru menunjukkan arogansi tersebut ketimbang mendukung proses
demokratisasi. Pekerjaan rumah yang terdekat saat ini bagi pekerja media profesional
adalah menajamkan pemahaman terhadap situasi sosial yang makin mutakhir.
Hubungan antara jurnalis, narasumber berita, dan audiens sudah menjadi cair dalam
dunia maya sekaligus juga dalam pola hidup masyarakat sehari-hari. Sedangkan,
pekerjaan rumah bagi masyarakat luas yang ingin berkiprah melaluicitizen journalism adalah memaknainya dengan sungguh-sungguh dan menggunakannya secara optimal sebagai ruang sosial bersama yang kontruktif dan progresif.
Penutup
Bila hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik, kiranya polemik apakah
bangsa ini sudah siap memanfaatkancitizen journalism secara optimal meski belum
seutuhnya menjadi masyarakat informasi akan terjawab. Inilah yang menempatkan
setiap manusia menjadi subyek aktif dalam kehidupan sosial. Inilah era yang
memungkinkan potensi setiap orang yang berasal dari golongan biasa-biasa saja bisa
memiliki andil luar biasa bagi orang lain. Meskipun, satu sama lain tidak saling
mengenal secara fisik.
Tidak heran jika majalahTIME edisi 25 Desember 2006 lalu menutup edisi
tahun tersebut dengan memilih “Person of The Year 2006” adalah Anda. Ya, Anda.
Siapapun orang di muka bumi yang pernah berinteraksi dalam dunia maya.TIME
mencatat bahwa tahun 2006 adalah tahun penanda peradaban masyarakat informasi.
Tidak hanya di AS, tetapi di belahan bumi manapun dari Inggris di Eropa, Korea
Selatan di Asia, hingga Maroko di Afrika. Situsweb berbasiscitizen journalism bertajuk
OhMyNews (ohmynews.com atau english.ohmynews.com) dari Korea Selatan menjadi
contoh kekuatan baru di era informasi saat ini.
Terlepas dari segala keterbatasan infrastruktur amaupun tatatan sosio-kultural,
sebenarnya kita di negeri ini mau tidak mau suka tidak suka sudah menjadi bagian dari
dunia cair yang berbasis pengetahuan lewat dunia maya. Pertanyaannya kemudian
adalah sejauh mana aktivitas dan interaksi kita dalam jaringancitizen journalism
tersebut—atau paling tidak sekadar sebagai pengguna pasif—memiliki manfaat sosial
bagi lingkungan hidup kita sehari-hari, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun
budaya.
Ternyata, berita dalam dunia yang sarat informasi seperti sekarang ini dapat
tampil dalam banyak sisi, tidak hanya satu muka karena siapa saja dapat mengartikan
dan menginterpretasikan peristiwa dalam ruang dialog bersama yang berprinsipcitizen
journalism. Tulisan ini diarahkan untuk mencari jawaban atas tiga pertanyaan kunci,
yakni tentang perubahan konsep dan makna berita, dampak perubahan tersebut bagi
ranah jurnalistik, dan peran masyarakat dalam dunia yang telah terbentuk sedemikian
rupa. Setelah mencoba mengurai satu demi satu pertanyaan kunci tersebut dan
mengaitkannya dengan fenomena sosial yang terjadi berikut pendekatan untuk melihat
dan memaknai fenomena tersebut, maka tulisan ini pun akan penulis tutup dengan
lontaran pertanyaan kembali. Apa yang sudah kita lakukan dalam dunia yang begitu cair
dan banjir informasi ini? Adakah aktivitas itu memberi manfaat sosial bagi lingkungan
kita? Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama.**
© Zaki Habibi
(artikel ini dimuat diJurnal Komunikasi Volume 1 No.2 April 2007,
terbitan Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)
18
Daftar Pustaka
Anderson, Douglas A; Itule, Bruce D. 1984.Contemporary News Reporting. New York:
Random House.
Ishwara, Luwi. 2005.Catatan-catatan Jurnalisme Dasar.Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Gillmor, Dan. 2004.We The Media: Grassroot Journalism by The People, for The
People. California: O'Reilly.
Glaser, Mark. 2006. “Your Guide to Citizen Journalism”, diunduh dari
http://www.pbs.org/mediashift/2006/09/digging_deeperyour_guide_to_ci.html,
diakses pada 14 Mei 2007.
Newsom, Doug; Wollert, James A. 1985.Media Writing, News for The Mass Media.
California: Wadsworth.
Rosen, Jay. 2004. “A Conversation Between Dan Gillmor and Jay Rosen”, diunduh dari
http://www.oreillynet.com/pub/a/network/2004/09/14/gillmor.html?CMP=ILC-
FV7511446129&ATT=1462, diakses pada 14 Mei 2007
Piliang, Yasraf Amir. 1999.Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan
Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
Simbolon, Parakitri T.2006.Vademekum Wartawan. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
http://jurnalisme.wordpress.com/tag/citizen-journalism
MajalahTIME edisi 25 Desember 2006.
No comments:
Post a Comment