Tuesday, January 13, 2009

Jebol Password BIOS

Cara Men-Jebol Password BIOS
Ada beberapa cara untuk men-jebol password BIOS, beberapa cara yang paling sederhana :.

1. Menggunakan Password Standard atau "Backdoor Password" dari Vendor pembuat BIOS.
Backdoor password untuk masing-masing vendor tersebut adalah:
AWARD BIOS
AWARD SW, AWARD_SW, Award SW, AWARD PW, _award, awkward, J64, j256, j262, j332, j322, 01322222, 589589, 589721, 595595, 598598, HLT, SER, SKY_FOX, aLLy, aLLY, Condo, CONCAT, TTPTHA, aPAf, HLT, KDD, ZBAAACA, ZAAADA, ZJAAADC, djonet, %øåñòü ïpîáåëîâ%, %äåâÿòü ïpîáåëîâ%
AMI BIOS
AMI, A.M.I., AMI SW, AMI_SW, BIOS, PASSWORD, HEWITT RAND, Oder

Password lain yang dapat dicoba untuk AMI/AWARD adalah:

LKWPETER, lkwpeter, BIOSTAR, biostar, BIOSSTAR, biosstar, ALFAROME, Syxz, Wodj




2. Flashing BIOS lewat Software.

Kalau kamu bisa masuk ke Windows, maka kamu bisa menggunakan command prompt untuk men-jebol password BIOS. Caranya kamu masuk ke Command Prompt, setelah itu ketik "debug" (tanpa tanda petik), lalu masukkan perintah dibawah ini:

AMI/AWARD BIOS

O 70 17
O 71 17
Q
PHOENIX BIOS

O 70 FF
O 71 17
Q

3. Flashing BIOS lewat Hardware
Untuk men-jebol password BIOS lewat flashing hardware ada beberapa cara diantaranya:

Menggunakan Jumper
Biasanya pada motherboard terdapat jumper yang fungsinya untuk meng-clear BIOS. Letaknya dekat Battery BIOS ( bentuk-nya seperti battery jam tangan ) biasa-nya dilabeli "CLR CMOS". Biasanya posisi jumper 1-2 adalah kondisi normal, posisi 2-3 adalah posisi untuk meng-clear BIOS. Pindah-kan Jumper pada posisi 2-3 (komputer harus dalam keadaan mati!) diamkan sesaat, kemudian pindahkan lagi ke posisi 1-2 (normal), hidupkan komputer. Karena BIOS-nya di clear, maka harus dilakukan setting BIOS lagi, pilih saja "LOAD OPTIMIZED DEFAULT" pada menu BIOS.

Mencabut Battery BIOS
Ya, cabut battery BIOS untuk beberapa saat setelah itu pasang kembali. Sama seperti langkah diatas, cara ini juga meng-clear BIOS sehingga lakukan lagi setting BIOS seperti langkah diatas.

Silahkan dicoba....

Thursday, January 8, 2009

“Citizen Journalism”: 

Ketika Berita Tidak Hanya Memiliki Satu Muka

Oleh Zaki Habibi1

Abstract

Journalism became a term that mass media had controlled the meaning for recent

years. Audiences have no power to show their role in news production and

dissemination. Now, when society face an information era, the power of

knowledges and informations no longer lay-down only at newsroom or editors of

mass media. Internet created many changes in the way people signify realities.

Citizen journalism, as a new form of online journalism, offers a new paradigm and

spirit which put individual as important subject in the process of social meaning

construction.

Key words

Citizen journalism, gatekeeper, news, online media, running journalism, social

construction,visual thinking.

Pendahuluan

Sejarah peradaban manusia menunjukkan, jurnalistik dan teknologi selalu

tumbuh dan berkembang sejalan. Ketika teknologi menghadirkan mesin cetak pada abad

ke-15 di Eropa, jurnalistik juga tergiring untuk menggunakannya sebagai sarana

produksi dan diseminasi informasi. Orang mulai berpikir bahwa informasi yang tersebar

secara massif memiliki nilai dan kekuatan tertentu dalam masyarakat. Teknologi pun

terus mencari bentuk dan varian barunya hingga kini guna menjadi bagian dari proses

yang disebut kemajuan. Segala sendi kehidupan bertransformasi sebagai konsekuensi

logis atas implementasi teknologi yang menjadi “teman hidup” peradaban manusia. 

1 Penulis adalah mantan wartawan HarianKompas yang kini menjadi penulis lepas. Saat ini, di samping

mengelola weblog http://melekmedia.wordpress.com, penulis juga mengajar sebagai dosen luar biasa

pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia.


2

Memasuki abad ke-21, pertumbuhan teknologi—khususnya di bidang

komunikasi dan informasi—makin cepat dan kian tidak terduga. Internet menjadi

lokomotif dari transformasi peradaban masa kini. Jurnalistik pun mendapatkan

tantangan terbesarnya terutama sejak tahun 2000 dan memuncak pada dua tahun

terakhir seiring pesatnya kemajuan duniacyber. Tantangan itu berwujud sebuah konsep

dan praktik yang disebutcitizen journalism. 

Situasi berubah dan menuntut adaptasi bagi apa dan siapa saja yang ingin tetap

bertahan hidup. Transformasi yang terjadi di ranah jurnalistik juga terjadi dalam rangka

mempertahankan daya hidupnya. Transformasi tersebut tidak hanya terkait seputar

perubahan dan penyesuaian perangkat atau instrumen pendukung yang digunakan. Akan

tetapi, juga menyangkut aspek-aspek lain yang lebih luas, seperti praktik jurnalistik,

sistem nilai dalam jurnalistik, pola dan sistem bisnis jurnalistik, hingga konsep-konsep

dasar jurnalistik. Perubahan itu juga yang dibawa oleh gelombangcitizen journalism.

Adapun, tulisan ini tidak bertujuan untuk memetakan fenomena citizen

journalism di duniacybersecara menyeluruh. Tulisan ini tidak pula berpretensi untuk

mengedepankan polemik tentang aspek obyektivitas, akurasi, dan kebenaran antara

citizen journalism dengan jurnalisme tradisional. Akan tetapi, kali ini penulis ingin

melihat bagaimana pengaruh yang dibawa gelombang baru dalam jurnalisme ini

terhadap konsepsi atas berita yang selama ini telah terkonstruksi sedemikian rupa di

benak masyarakat, baik di kalangan para jurnalis dan pekerja media maupun di mata

khalayak media. Apakah berita masih memiliki makna yang sama? Bagaimana

implikasi yang dibawacitizen journalismterhadap konsep berita di media massa

maupun di cybermedia saat ini? Apa dan bagaimana pula peran yang sejatinya dapat

dijalankan masyarakat di Indonesia dalam eracitizen journalism ini? 


3

Jurnalistik Menghadapi Tantangan Zaman

Karena selalu tumbuh seiring perkembangan teknologi, metode jurnalistik juga

turut mengikuti arah laju pertumbuhan tersebut. Bahkan, temuan-temuan baru atas

konsep dan metode dalam jurnalistik juga dipicu oleh persinggungannya dengan

teknologi. Sebuah ilustrasi dari peristiwa yang terjadi lebih dari seabad lalu di Amerika

Serikat (AS) berikut ini dapat menjadi salah satu bukti riil bagaimana persinggungan

antara jurnalistik dengan teknologi berdampak terhadap pola dan metode kerja

jurnalistik. Saat perang sipil di AS berkecamuk hebat pada 1861-1865, media cetak kala

itu juga saling “berperang”. Mereka berlomba-lomba ingin menjadi yang terdepan dan

tercepat dalam memberitakan informasi langsung dari medan pertempuran yang

menelan sekitar 970.000 korban jiwa atau setara tiga persen penduduk AS masa itu. 

Di masa yang bersamaan telegraf telah akrab dikenal masyarakat AS. Para

jurnalis pun memanfaatkan teknologi telegraf untuk mengirim berita dari medan perang

ke kantor redaksinya agar berita lebih cepat sampai daripada harus menitipkannya

kepada kurir. Masalah muncul ketika jumlah kantor telegraf tidak sebanding dengan

berjubelnya para jurnalis yang ingin mengirim berita secara bersamaan. Akhirnya,

dibuatlah peraturan agar setiap jurnalis mengirimkan satu paragraf lalu bergantian

dengan jurnalis lainnya, menyusul paragraf berikutnya secara bergiliran agar adil dan

merata. Akibatnya, para jurnalis tersebut harus mengubah cara menulis beritanya dari

yang biasanya berstruktur naratif bak sebuah cerita pendek atau novel dengan puncak

cerita berada di bagian akhir menjadi model simpulan dengan bagian terpenting berada

di awal laporan mereka. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar kantor redaksi


4

mereka menerima laporan terpenting lebih cepat karena pengiriman berita harus

dilakukan bergantian dengan para jurnalis lainnya (Ishwara, 2005: 115).

Peubahan yang tampaknya sepele ini ternyata membawa pengaruh yang besar

pada praktik jurnalisme di masa-masa berikutnya. Bahkan, sampai sekarang. Dari

fenomena itulah kemudian berita yang dikategorikan sebagaihard news memiliki

struktur berbentuk piramida terbalik. Struktur ini meletakkan informasi terpenting dari

berita pada bagian atas/awal, semakin ke bawah nilai kepentingan informasinya kian

berkurang. Inilah yang kemudian menjadi patron media massa di seluruh dunia sampai

saat ini.

Persinggungan jurnalistik dengan teknologi dalam contoh tersebut meletakkan

teknologi sebagai tantangan yang justru dapat dimanfaatkan untuk menajamkan potensi.

Bahkan, tantangan yang semula sempat dianggap sebagai hambatan pun akhirnya

berhasil juga dilihat sebagai ruang untuk memunculkan kreasi-kreasi baru. Contoh yang

paling konkret untuk menjelaskan fenomena ini adalah era awal kemunculan media

elektronik, terutama televisi, yang sempat “mengancam” kehidupan media cetak.

Televisi yang bersifat simultan danreal-time mampu menjawab kekurangan media

cetak dalam aspek aktualitas berita. Peristiwa detik ini dapat tersiar detik berikutnya.

Media cetak pun sempat disinyalir akan gulung tikar. Namun, ternyata prediksi tersebut

tidak terbukti, paling tidak hingga kini. Media cetak tetap masih bisa bertahan meski

televisi sudah merasuk ke ruang-ruang keluarga warga dunia sejak tidak kurang dari 50

tahun terakhir. 

Dari segi aktualitas, media cetak memang tidak akan mampu menandingi

kecepatan media elektronik dalam hal menyiarkan berita. Meski begitu, media cetak

tetap bisa mengedepankan sisi lain yang menjadi kelebihannya, yaitu aspek kedalaman


5

informasi. Radio memang luar biasa cepat dalam mengendus informasi dan segera

menyiarkan kepada pendengarnya. Karena itulah, radio disebut sebagaialerting

medium, yaitu media pertama yang menyampaikan kepada khalayak tentang apa yang

terjadi meskipun hanya berupa gasir besar. Sedangkan, televisi dengan aspek visualnya

mampu menjadiinvolving medium, yaitu media yang mampu mengikat emosi

pemirsanya lebih kuat dibanding bentuk media lainnya. Di sinilah kemudian media

cetak memainkan perannya sebagaiinforming medium, yakni media yang mampu

menangani hal-hal yang kompleks karena memiliki kesempatan dan ruang untuk

menggali aspek kedalaman informasi sebelum memuat dan mengedarkannya (Davison

dalam Ishwara, 2005: 48-49). 

Di Indonesia, kesadaran akan hal ini makin menguat dan menemukan bentuknya

secara serempak sejak pertengahan 2006. Penulis mencatat bahwa pada masa itulah

cikal bakal konsepvisual thinking dalam menulis berita di media cetak mulai digunakan

secara beramai-ramai. Konsep tersebut mengacu pada bentuk tulisan tak ubahnya

laporan jurnalistik yang selama ini dikenal, tetapi relatif lebih pendek, ringkas (concise),

serta dilengkapi dengan grafik atau data visual yang lebih dominan. Jurnalis dituntut

untuk mampu menghadirkan gambaran visual dalam benak pembacanya melalui berita

yang disusunnya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan masyarakat dunia, termasuk

di kota-kota besar di Indonesia, yang makin memiliki ritme hidup tinggi, serta

menerima pajanan media yang luas cakupannya dan tinggi frekuensinya. Sehingga,

waktu adalah sesuatu yang amat berharga. Oleh karena itu, tidak ada lagi kesempatan

duduk berlama-lama membaca setiap berita di surat kabar atau majalah seperti

membaca buku. Secara visual, tampilan media dan struktur berita akhirnya dibuat

sedemikian rupa agar memudahkan dan mempercepat pembaca saat merekam informasi


6

dari media tersebut. Konsep berita yang demikianlah yang kemudian diamini sebagai

berita yang baik dan efektif.

Di saat jurnalistik, lebih khusus lagi dalam media cetak, sudah mulai

menemukan pijakan pasti dalam menyusuri perannya di tengah gempuran tantangan

zaman, gelombang baru muncul lagi. Kali ini gelombang yang lebih dahsyat terpaannya

datang dari duniacyber melalui internet. Warga dunia, termasuk di belahan dunia

ketiga, sudah mulai akrab untuk hidup berdampingan dengan internet. Publik jurnalistik

(baca: jurnalis profesional) pun makin menemukan arti penting keberadaan internet

guna mendukung kerja mereka sehari-hari, entah itu sebagai sarana komunikasi maupun

sumber penyedia data dan informasi. Kemunculan situsweb berita atauonline media

sempat menjadi diskusi hangat di kalangan jurnalis. Mulanya, keberadaan media

tersebut dinilai akan mengancam keberadaan media massa. Pasalnya, dari segi

kecepatan dan jangkauan khalayak, media elektronik pun kalah jauh. Lebih-lebih lagi

media cetak. Masa yang disebut-sebut sebagaipaperless era alias serba maya

tampaknya sudah di depan mata. Namun rupanya, fenomena ini justru memperkaya

konsepsi dan praktik jurnalistik itu sendiri ketimbang menenggelamkan yang sudah

lebih dulu ada.

Online mediamengedepankan konsep yang belakangan disebut sebagairunning

journalism. Media tersebut relatif lebih memiliki ruang penyimpanan dan penampilan

berita jauh lebih luas. Namun, pembaca atau dalam dunia maya disebutuser memiliki

keterbatasan ruang baca, yakni seluas layar monitor komputer mereka. Tulisan yang

terlalu panjang, sehingga harus berkali-kali menurunkan tampilan di layar monitor

komputer, hanya mempersulituser dan menurunkan tingka keterbacaan. Akhirnya,

online media pun mengembangkan struktur penulisan berita berlanjut. Satu peristiwa


7

dapat diturunkan dalam beberapa laporan secara beruntun. Jadi, setiap laporan yang

tampil di situsweb tersebut bukanlah sebuah berita yang bisa dibilang tuntas, tetapi 

tidak dapat juga disebut belum selesai. Berita dalam media semacam ini adalah suatu

laporan yang turun segera, sedekat mungkin waktunya dengan waktu peristiwa terjadi, 

dan diturunkan terus-menerus dengan penambahan informasi lanjutan tidak ubahnya

seperti orang yang sedang berlari (running) menuju garis akhir. Di Indonesia salah satu

online media yang masih bertahan, baik dari segi konseprunning journalism maupun

secara bisnis, adalahdetik.com. 

Konsep tersebut memang memberikan wacana dan praktik baru dalam ranah

jurnalistik. Meski demikian, hal itu justru memperkaya khasanah jurnalistik dan

memperluas dialog antara beragam bentuk media yang sudah ada. Sehingga, sinergi

dapat terbentuk dan masing-masing berada pada jalur peran yang spesifik dengan

mengembangkan konsep serta bentuk berita yang khas. Dengan kata lain, perjalanan

waktu selama ini menunjukkan bahwa konsep dan bentuk berita ternyata

bertransformasi mencari bentuknya sesuai perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. 

Walaupun begitu, prinsip-prinsip jurnalistik ternyata tidak banyak berubah

secara mendasar. Meski bentuk medianya beragam, tetap saja masih ada logika tentang

institusi media sebagai institusi sosial sekaligus institusi ekonomi dalam masyarakat.

Selain itu, masih ada orang yang disebut sebagai jurnalis selaku pihak yang mencari,

mengolah, dan menuliskan atau menyiarkan informasi yang diperolehnya. Masih ada

juga logika keredakturan/editorial yang berjalan ketat memainkan peran sebagai

gatekeeper alias penyaring informasi. Satu hal lagi yang tidak kalah penting, masih ada

juga posisi audiens media yang cenderung pasif dalam alur produksi dan distribusi


8

informasi melalui media. Bahkan, audiens dalam kacamata kapitalisme global terkait

industri media dapat disebut juga—meski tidak selalu identik—sebagai konsumen.

Lalu, situasi seperti apakah yang kini sedang menjadi tantangan baru bagi ranah

jurnalistik? Adakah situasi tersebut mengubah secara mendasar prinsip-prinsip

jurnalistik? Bagian berikut akan menguraikan hal-hal tersebut secara berturut-turut.

Masyarakat Haus Informasi (?)

Internet telah berangsur-angsur menjadi sahabat baru manusia modern dalam

dua dasawarsa terakhir. Khusus di Indonesia, peningkatan akses terhadap dunia maya

secara drastis mulai mengemuka sejak akhir 1990-an dan makin melejit saat memasuki

era 2000-an. Meski mayoritas masih berada di leveluser semata, warga yang

mengklaim diri mereka sebagai kaum modern telah menjadikan internet sebagai bagian

dari keseharian mereka. Aktivitas di dunia maya tersebut tidak lagi sebatas urusan

mengirim dan menerima e-mail atauchatting belaka. Namun, aktivitas sudah makin

beragam seiring perkembangan teknologi dan kondisi sosio-kultural masyarakat.

Dunia tiba-tiba menjadi begitu cair, sekat-sekat karena batasan geografis

menjadi bukan persoalan rumit lagi. Dunia seperti disatukan oleh internet. Akan tetapi,

pada saat yang sama dunia juga “diceraiberaikan” olehnya. Cerai berai dalam pengertian

bahwa setiap orang bebas memilih ruang-ruang ekspresinya yang tanpa batas di dunia

maya ini. Sekaligus juga bebas untuk menentukan identitas dirinya sebagai aktualisasi

diri di dunia nyata maupun selaku avatar-avatarnya di dunia maya. Dalam logika yang

demikian setiap entitas, entah itu pribadi maupun kelompok sosial, identitasnya melebur

atau merekonstruksi kembali identitas yang dia/mereka inginkan saat beinteraksi di

dunia maya. Situasi ini sempat disikapi dengan gegar teknologi dan gegar budaya,


9

terutama di negara-negara berkembang. Gegar budaya dan gegar teknologi itu

ditunjukkan melalui penyikapan atas teknologi baru bernama internet yang mereka

manfaatkan dalam arah yang tidak jelas. Lebih banyak yang euforia mengkonstruksi

identitas lewat beragam avatar. Banyak juga golongan yang jengah dan menjadi reaktif

dengan membangun benteng-benteng terhadap laju informasi di internet atas nama

kekuasaan politik maupun agama. Tidak sedikit pula yang lambat laun menjadi pribadi 

terasing karena begitu banyaknya informasi dan citraan berseliweran di sana tanpa tahu

apa yang sebenarnya ia butuhkan. Berbagai imaji muncul silih berganti dalam kecepatan

tinggi, sehingga menciptakan kebingungan dalam kondisi obesitas citraan dan informasi

(Piliang, 1999: 318).

Meski tidak bisa dibilang sudah sirna seutuhnya, gejala tersebut lambat laun

berkurang. Sikap masyarakat terhadap keberadaan internet juga makin dewasa.

Walaupun prinsip dasar dunia maya memang membuka ruang budaya yang demikian,

sedikit demi sedikituser mulai mengerti dengan ciri tersebut. Pengertian ini menggiring

kepada pemahaman yang lebih mutakhir, sehingga dapat lebih memegang kendali atas

teknologi. Bukan sebaliknya, manusia yang justru dikendalikan oleh teknologi.

Dalam tren kondisi yang demikian lahirlah beragam ruang-ruang baru di dunia

maya yang makin progresif. Salah satunya adalah weblog atau yang kini jamak disebut

blog. Blog bermula dari catatan harian atau jurnal seseorang yang dipublikasikan di

internet. Selain catatan yang sifatnya personal dan selalu di-up-date tersebut, blog juga

menyajikanlinkatau daftar alamat koneksi ke situsweb atau blog lainnya. Ciri khas

lainnya adalah blog memungkinkan setiap pengunjungnya meninggalkan komentar

terhadap apa yang tampil di situ. Pengunjung lainnya dapat melihat komentar tersebut

dan dapat memberikan komentar lanjutan, demikian juga dengan pemilik blognya,


10

begitu seterusnya. Inilah cikal bakal situsweb citizen journalism yang kini mulai

menjamur sebagai bentuk alternatif dari praktik jurnalistik.

Dunia web adalah dunia yang berbasis padalink. Setiap orang atau entitas dapat

saling terkait dengan orang/entitas lainnya. Prinsip ini mengakomodasi kebutuhan dasar

manusia untuk berkomunikasi, atau meminjam istilah salah seorang perintis gerakan

citizen journalism di AS, Dan Gillmor: saling bercakap-cakap (Gillmor dalam Rosen,

2004).  Setiap orang ingin mengekspresikan diri, pikiran, keresahan, dan harapannya.

Setiap orang juga ingin mendengarkan atau membaca dan memahami pikiran,

keresahan, serta harapan orang lain. Selain itu, hasrat membantu orang lain atau paling

tidak memberikan komentar atas pikiran orang lain juga amat naluriah. Hal-hal itulah

yang kemudian benar-benar mendapatkan ruangnya di dunia web, blog, dan termasuk

juga kinicitizen journalism.

Gerakan jurnalisme baru ini mengemuka pada awal 1990-an di AS. Belum ada

data yang pasti siapa yang memulainya karena masih ditemukan klaim-klaim yang

sifatnya pribadi tanpa uji silang yang komprehensif. Meski begitu, era kemunculannya

memang pada rentang waktu tersebut. Bentuk dan sifatnya masih beragam tergantung

kepentingan setiap pembuatnya dan semuanya berbasis pada aplikasi blog. Satu hal

yang pasti adalah semangat jurnalisme partisipatoris sudah muncul dan menonjol.

Karena memang sejatinya inilah ciri pokokcitizen journalism. Yakni, kegiatan

jurnalistik yang dilakukan bukan oleh jurnalis profesional, tetapi oleh masyarakat umum

dan dipublikasikan secaraonline serta dapat saling diberi komentar oleh pengguna

lainnya. 

Konsep dasar dalam citizen journalism yaitu memposisikan audiens sebagai

produsen berita juga, bukan hanya konsumen pasif seperti selama ini berjalan dalam


11

logika kerja jurnalisme tradisional berbasis media massa. Dengan kata lain, posisi antara

jurnalis sebagai pencari dan penulis berita, narasumber sebagai muasal berita, dan

audiens sebagai konsumen berita sudah lebur begitu cair. Antara produsen dan

konsumen berita tidak bisa lagi diidentifikasi secara rigid karena setiap orang dapat

memerankan keduanya (Gillmor, 2004: xii-xv). Intinya, dalamcitizen journalism yang

diutamakan adalah interaksi dan interkoneksitas.

Sebenarnya, fenomena ini muncul sebagai lanjutan dari kecenderungan laju

masyarakat menuju tahap mutakhir seusai menjadi masyarakat industri. Dalam

terminologi yang dikemukakan sosiolog dan futurolog Alvin Toffler, tahap mutakhir itu

adalah masyarakat informasi. Tahap ini adalah tahap ketiga setelah melalui bentukan

sebagai masyarakat agraris dan masyarakat industri. Ciri utama masyarakat informasi

adalah penekanan pada sifat kekuasaan dan pengetahuan yang tidak lagi terpusat,

melainkan menyebar. Di samping itu, informasi telah menjadi entitas dan komoditi

tertentu yang menggerakkan laju peradaban. Namun, satu hal yang perlu mendapat

catatan juga adalah bahwa setiap komunitas atau bangsa tidak berjalan dalam kecepatan

yang sama dalam proses pemutakhiran peradaban tersebut. Sehingga, jika di belahan

utara tempat bangsa negara-negara maju sudah hiruk pikuk sebagai masyarakat

informasi, ternyata di negara-negara berlembang termasuk Indonesia, masih disibukkan

dengan transisi dari agraris menuju industri.

Repotnya, dalam proses yang tidak seimbang ini dunia terlanjur “disatukan”

sekaligus “diceraiberaikan” oleh teknologi berbasis internet. Akibatnya, percepatan

pembentukan tahapan masyarakat di negera berkembang mau tidak mau harus terjadi

meskipun secara infrastruktur maupun tatanan sosio-kulturalnya belum siap benar.

Dalam kontekscitizen journalism pun hal ini menemukan kerumitannya sendiri.


12

Pasalnya, kehadirancitizen journalism merupakan respons lanjutan dari peradaban

masyarakat informasi yang memang tatanan sosio-kultural dan infrastrukturnya telah

siap. Kehadirannya menunjukkan peran berarti dalam mendekonstruksi sistem media

tradisional, mendobrak tatanan konservatisme dalam produksi dan distribusi berita, serta

menawarkan geliat ruang berdemokrasi yang paripurna. Hal inilah yang kemudian

menjadi pertanyaan besar bagi bangsa ini dalam menyikapi keberadaancitizen

journalism.

Pernyataan tersebut bukan dalam rangka ingin mengecilkan arti bangsa ini

dalam dunia yang sudah begitu global dan cair ini. Sama sekali tidak. Lontaran ini

hanya untuk menegaskan kembali dan mengingatkan kita bersama bahwa kunci utama

dari setiap implementasi teknologi adalah untuk menjawab kebutuhan riil komunitas

penggunanya. Jadi, jika memang kita sudah menjadi masyarakat dalam tatanan yang

haus informasi dan menemukan ruang baru untuk mendekonstruksi hal yang

sebelumnya ada demi perbaikan diri dan lingkungan, hal tersebut tidak masalah.

Sehingga, gejala gegar teknologi dan gegar budaya akan suatu bentukan teknologi dan

ruang budaya baru tidak muncul lagi. Keberadaancitizen journalism pun bisa

dimanfaatkan sebaik-baiknya sesuai prinsip dasar yang dimiliki gerakan ini, yaitu

melihat setiap manusia sebagai subyek dalam hidup bersama. Bukan sekadar menjadi

ruang eskapisme dari kepenatan dunia nyata dengan cara menyebarkan kabar bohong

atau hasutan. Bukan pula menjadi ruang katarsis semata demi pemenuhan gejolak

psikologis yang tidak terepresentasikan dalam dunia nyata.


13

Berita sebagai Konstruk Sosial

Prinsip dasarcitizen journalism telah amat jelas menunjukkan bahwa berita

sebagai isi interaksi parausers di sana adalah sebuah bentukan atau konstruk bersama.

Jika sebelumnya berita sebatas dimaknai sebagai peristiwa yang dilaporkan melalui

media massa (Simbolon, 2006: 87), kini berita menemukan makna tersendiri lewat

citizen journalism. Berita bukan lagi sesuatu yang elitis dan hanya punya “satu sisi

muka” karena tidak muncul dari sekelompok orang tertentu yang berlabel jurnalis

profesional saja. Setiap orang yang mempunyai cerita kehidupan dan berdampak sosial

dapat menuliskannya di situsweb yang berprinsipcitizen journalism. 

Berita di media massa memang bukan realitas sosial itu sendiri. Melainkan,

realitas media yang juga sudah melalui proses konstruksi atas realitas sosial. Akan

tetapi, proses konstruksinya selama ini hanya berkutat di jajaran redaksi media tersebut.

Atau dengan kata lain, masih elitis. Media massalah yang menentukan apa yang harus

diliput dan apa yang luput dari pelaporan peristiwa. Media pula lah yang memastikan

nilai berita mana yang lebih penting untuk pembacanya. Media massa menentukan

berbagai faktor untuk menentukan peristiwa apa yang akan mereka liput (Anderson dan

Itule, 1984: 17).

Pola demikian yang kemudian didekonstruksi oleh prinsipcitizen journalism

dalam duniacyber. Setiap orang kembali kepada definisi asali dari berita itu sendiri,

yakni segala sesuatu yang diinginkan dan diperlukan untuk diketahui oleh orang lain

(Newsom dan Wollert, 1985: 11). Dengan melaporkan berita, media tidak hanya berbagi

informasi kepada khalayak untuk kemudian menggerakkan masyarakat dalam

perikehidupan demokratis, tetapi juga menjadi ruang interaksi antar individu maupun

ruang dialog yang konstruktif. Berita mewujud sebagai sebuah laporan dari warga yang


14

bisa jadi bernuansa subyektif, tetapi mampu menjadi sarana dialog untuk menemukan

tesis dan sisntesis kehidupan bersama. 

Adakah perubahan konsep atas berita ini juga mempengaruhi proses dan prinsip

produksi berita di media massa dalam praktik jurnalisme tradisional? Penulis rasa tidak

perlu demikian. Hal yang dibutuhkan kini adalah konvergensi media dan konvergensi

pengetahuan. Konvergensi di sini bukan dalam pengertian penyatuan lini usaha seperti

yang selama ini kerap dipakai oleh konglomerasi media. Akan tetapi, setiap pola dan

bentuk media saling mendukung dalam menjalankan perannya masing-masing.

Keberadaancitizen journalism tidak serta merta mengeliminasi keberlanjutan hidup

media massa konvensional. Terlebih lagi di Indonesia yang mayoritas warganya belum

mampu mengakses internet secara kontinyu karena kemiskinan struktural yang tercipta

sebagai turunan dari perikehidupan yang korup dan timpang selama negeri ini merdeka. 

Saat ini, elitisme pengetahuan sudah tidak ada lagi. Informasi dan pengetahuan

tidak hanya berada di tangan para pekerja media. Bisa jadi khalayak media tersebut

justru lebih dulu tahu karena kecepatan akses informasi melalui internet. Hal ini tidak

menjadi soal. Sebabnya, saat ini pertanyaan utama dalam ranah jurnalistik bukan lagi

siapa yang lebih dulu dan lebih cepat tahu. Melainkan, bagaimana informasi dan

pengetahuan yang mereka miliki tersebut dapat memberi manfaat bagi kehidupan

bersama. 

Supaya dapat memberi manfaat, maka informasi tidak lagi dipasung sendirian.

Justru interaksi dan proses dialog lah yang memungkinkan suatu peradaban bertambah

maju. Dengan begitu, para jurnalis profesional tidak pelu khawatir dengan geliatcitizen

journalism di dunia maya. Para jurnalis tersebut dapat memanfaatkannya sebagai ruang

alternatif dalam mengolah informasi dan mengkonstruksi realitas sosial menjadi realitas


15

media. Sementara, keberadaancitizen journalism juga tetap dapat memberikan andil

positif bagi ruang hidup yang demokratis. Di samping melatih setiap orang untuk lebih

peka terhadap lingkungan sekitarnya,citizen journalism juga bisa menjadi sarana

alternatif melihat konstruk realitas sosial yang luput dari perhatian media massa. Inilah

konvergensi yang penulis maksudkan.

Dengan begitu, kecenderungan negatif laju media massa dalam kancah

kapitalisme global dapat ditekan. Kecenderungan itu di antaranya adalah arogansi dalam

melihat, memilih, dan memaknai setiap realitas sosial. Arogansi ini memang mendapat

ruang yang luas selama ini karena logika jurnalistik yang berjalan bersifat elitis. Posisi

sebagaigatekeeper justru menunjukkan arogansi tersebut ketimbang mendukung proses

demokratisasi. Pekerjaan rumah yang terdekat saat ini bagi pekerja media profesional

adalah menajamkan pemahaman terhadap situasi sosial yang makin mutakhir.

Hubungan antara jurnalis, narasumber berita, dan audiens sudah menjadi cair dalam

dunia maya sekaligus juga dalam pola hidup masyarakat sehari-hari. Sedangkan,

pekerjaan rumah bagi masyarakat luas yang ingin berkiprah melaluicitizen journalism adalah memaknainya dengan sungguh-sungguh dan menggunakannya secara optimal sebagai ruang sosial bersama yang kontruktif dan progresif.

Penutup

Bila hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik, kiranya polemik apakah

bangsa ini sudah siap memanfaatkancitizen journalism secara optimal meski belum

seutuhnya menjadi masyarakat informasi akan terjawab. Inilah yang menempatkan

setiap manusia menjadi subyek aktif dalam kehidupan sosial. Inilah era yang

memungkinkan potensi setiap orang yang berasal dari golongan biasa-biasa saja bisa

memiliki andil luar biasa bagi orang lain. Meskipun, satu sama lain tidak saling

mengenal secara fisik.

Tidak heran jika majalahTIME edisi 25 Desember 2006 lalu menutup edisi

tahun tersebut dengan memilih “Person of The Year 2006” adalah Anda. Ya, Anda.

Siapapun orang di muka bumi yang pernah berinteraksi dalam dunia maya.TIME

mencatat bahwa tahun 2006 adalah tahun penanda peradaban masyarakat informasi.

Tidak hanya di AS, tetapi di belahan bumi manapun dari Inggris di Eropa, Korea

Selatan di Asia, hingga Maroko di Afrika. Situsweb berbasiscitizen journalism bertajuk

OhMyNews (ohmynews.com atau english.ohmynews.com) dari Korea Selatan menjadi

contoh kekuatan baru di era informasi saat ini. 

Terlepas dari segala keterbatasan infrastruktur amaupun tatatan sosio-kultural,

sebenarnya kita di negeri ini mau tidak mau suka tidak suka sudah menjadi bagian dari

dunia cair yang berbasis pengetahuan lewat dunia maya. Pertanyaannya kemudian

adalah sejauh mana aktivitas dan interaksi kita dalam jaringancitizen journalism

tersebut—atau paling tidak sekadar sebagai pengguna pasif—memiliki manfaat sosial

bagi lingkungan hidup kita sehari-hari, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun

budaya.

Ternyata, berita dalam dunia yang sarat informasi seperti sekarang ini dapat

tampil dalam banyak sisi, tidak hanya satu muka karena siapa saja dapat mengartikan

dan menginterpretasikan peristiwa dalam ruang dialog bersama yang berprinsipcitizen

journalism. Tulisan ini diarahkan untuk mencari jawaban atas tiga pertanyaan kunci,

yakni tentang perubahan konsep dan makna berita, dampak perubahan tersebut bagi

ranah jurnalistik, dan peran masyarakat dalam dunia yang telah terbentuk sedemikian

rupa. Setelah mencoba mengurai satu demi satu pertanyaan kunci tersebut dan

mengaitkannya dengan fenomena sosial yang terjadi berikut pendekatan untuk melihat

dan memaknai fenomena tersebut, maka tulisan ini pun akan penulis tutup dengan

lontaran pertanyaan kembali. Apa yang sudah kita lakukan dalam dunia yang begitu cair

dan banjir informasi ini? Adakah aktivitas itu memberi manfaat sosial bagi lingkungan

kita? Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama.** 

© Zaki Habibi

(artikel ini dimuat diJurnal Komunikasi Volume 1 No.2 April 2007,

terbitan Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)


18

Daftar Pustaka

Anderson, Douglas A; Itule, Bruce D. 1984.Contemporary News Reporting. New York:

Random House.

Ishwara, Luwi. 2005.Catatan-catatan Jurnalisme Dasar.Jakarta: Penerbit Buku

Kompas.

Gillmor, Dan. 2004.We The Media: Grassroot Journalism by The People, for The

People. California: O'Reilly.

Glaser, Mark. 2006. “Your Guide to Citizen Journalism”, diunduh dari 

http://www.pbs.org/mediashift/2006/09/digging_deeperyour_guide_to_ci.html,

diakses pada 14 Mei 2007.

Newsom, Doug; Wollert, James A. 1985.Media Writing, News for The Mass Media.

California: Wadsworth.

Rosen, Jay. 2004. “A Conversation Between Dan Gillmor and Jay Rosen”, diunduh dari

http://www.oreillynet.com/pub/a/network/2004/09/14/gillmor.html?CMP=ILC-

FV7511446129&ATT=1462, diakses pada 14 Mei 2007

Piliang, Yasraf Amir. 1999.Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan

Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.

Simbolon, Parakitri T.2006.Vademekum Wartawan. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

http://jurnalisme.wordpress.com/tag/citizen-journalism

MajalahTIME edisi 25 Desember 2006.